tipsbetcash.com – ROY Hodgson sudah berusia 67 tahun, tetapi ia pantas dilabeli ”tua-tua keladi” dalam konteks selera membawa ”daun-daun muda”.
Sejak Piala Dunia 2014 di Brazil, pelatih kelahiran Croydon itu mewarnai pasukannya dengan sederet pemain muda. Sikap itu diteruskan dalam skuad yang dibawa ke Euro 2016 di Prancis kali ini. Dia bahkan melakukan langkah yang terbilang revolusioner, yakni memilih mayoritas anak-anak muda sebagai potret produk kompetisi musim ini.
Di balik itu, berterima kasihlah kepada Mauricio Pochettino dan Louis van Gaal, juga kepada Claudio Ranieri yang dengan ragam romantika perjalanan dan hasil di akhir musim, telah membawa panggung terbuka: ”menyerahkan” kepada Hodgson nama-nama yang sangat layak dan diharapkan mewujudkan impian Inggris meraih trofi dari turnamen mayor setelah kejayaan di Piala Dunia 1966.
Pochettino dan Van Gaal berpihak kepada ”darah muda” di Tottenham Hotspur dan Manchester United, sedangkan Ranieri menggosok mutiara-mutiara terpendam yang semula terbuang menjadi cahaya berkilau tajam. Titik-titik lemah dalam pendekatan taktik Van Gaal di MU pun setidak- tidaknya terbayar oleh keberaniannya menyodorkan para penggawa remaja ke persaingan keras liga, yang salah satu di antaranya menjadi pilihan Roy Hodgson.
Ketika membawa Raheem Sterling, Ross Barkley, Jordan Henderson, Adam Lallana, Danny Welbeck, dan Luke Shaw ke Brazil 2014, Hodgson sudah dianggap sangat berani. Anakanak muda itu tampil impresif walaupun Inggris gagal melangkah ke percaturan berikut. Kini bahkan makin banyak nama baru dan muda untuk berkolaborasi dengan para senior Joe Hart, Gary Cahill, James Milner, Chris Smalling, dan Wayne Rooney.
Setidak-tidaknya Hodgson punya makin banyak alternatif di semua posisi. Keseimbangan pasukan ”Tiga Singa” bakal lebih terjaga. Inilah gambaran bahwa skuad Inggris bakal didominasi oleh wajah-wajah segar dengan determinasi tinggi dalam perseteruan sengit melawan Rusia, Slovakia, dan Wales di Grup B. Tinggal bagaimana nanti sang arsitek menyulam potensi kebintangan dan gairah muda itu menjadi orkestrasi yang rancak dan fungsional.
* * *
SPEKULASI terbesar bagi Inggris tentulah masuknya nama Marcus Rashford, striker 18 tahun Manchester United yang di separuh musim kemarin dipercaya penuh oleh Van Gaal untuk berduet dengan Anthony Martial. Terbukti, Rashford menjadi senjata simpanan yang mematikan. Penampilannya yang tenang, penempatan posisi yang tepat, pergerakan yang efektif, dan naluri golnya menjadi nilai lebih anak muda tinggi besar ini.
Para pengamat boleh saja meragukan pilihan Hodgson itu dibandingkan dengan ketika ia dengan mantap memilih dinamo Tottenham Hotspur, Dele Alli sebagai sosok utama lini tengah. Namun bukankah salah satu uji naluri bagi seorang pelatih adalah keberaniannya mengikuti tuntunan spekulasi?
Ketika Michael Owen dan Wayne Rooney dibawa ke turnamen mayor pada masanya juga dianggap sebagai keputusan yang spekulatif. Usia mereka masih remaja, sama seperti Rashford sekarang. Reaksi publik yang terpantik hampir sama dengan ketika pelatih Kevin Keegan membawa Steven Gerrard ke Euro 2000, atau saat Sven Goran-Eriksson memasukkan nama Theo Walcott ke Piala Dunia 2006.
Kini lini depan Inggris masih terisi dua nama senior Rooney dan Jamie Vardie. Kapten Rooney yang musim ini kurang bersinar di klub adalah pemegang banyak rekor timnas dan top scorer Inggris di babak kualifikasi.
Masuknya Vardie, Harry Kane, dan Rahford bakal makin memudahkan pelatih untuk mengotak-atik banyak opsi, walaupun ia kehilangan Welbeck dan Daniel Strurridge yang bergelut dengan cedera.
Kane dan Vardie telah membuktikan diri sebagai predator mematikan di sepanjang kompetisi, dan dalam beberapa ujicoba tim nasional unjuk ketajaman yang tak lagi pantas diragukan. Inggris mesti merasa beruntung melihat perkembangan dua penyerang tersebut.
Para striker itu bakal ditopang oleh koleksi barisan gelandang yang bisa memperkaya variasi skema tim. Semua nama yang diumumkan oleh Hodgson adalah jaminan soliditas ”Three Lions”.
Persoalan klasik yang terus menghantui Inggris sejak menjuarai Piala Dunia 1966 adalah kegagalan menaklukkan fakta sejarah yang tak pernah berpihak dalam turnamen besar. Datang dengan sebarisan pemain bintang, sebagai tim dengan perjalanan mulus dalam babak kualifikasi, Inggris seolah-olah menjadi kekuatan medioker seperti performa di Euro 1988, 1992, 2000, dan 2012. Juga di Piala Dunia 2010.
Inggris tak hanya disibukkan oleh rivalitas standar taktikal, kegagalan membangun adonan tim yang dahsyat dengan para pemain bintang, tetapi juga psikologi hasil buruk dari satu turnamen ke turnamen berikutnya.
Para bintang muda inikah jawaban untuk menembus tirai masalah klasik tersebut?
Yang patut diadopsi oleh Hodgson adalah passion pembuktian anak-anak muda yang sejuauh ini telah ditiupkan oleh Mauricio Pochettino, penyegaran berani ala Van Gaal, dan sukses ”gosokan akik” ala Claudio Ranieri.
Langit sepak bola Eropa menanti kiprah bocah-bocah luar biasa dari Liga Primer itu untuk memberi pembuktian: mampukah Pak Tua dengan ”daun-daun mudanya” menghentak dunia?