Tidak mudah bagi seorang Edy Rahmayadi menyuci bersih “lumpur” di PSSI yang baru dipimpinnya dalam empat bulan terakhir menuju reformasi total seperti yang diinginkan Presiden dua tahun lalu. Sebaliknya, pembersihan di tubuh PSSI bukan juga tidak bisa dilakukan, asalkan Edy bisa memulai dengan langkah dan kebijakan yang tepat.
Dari sejumlah kebijakan yang diambil pengurus baru PSSI, tidak ada yang signifikan menuju arah perubahan dan pembangunan sepak bola Indonesia ke depan menjadi lebih baik. Justru, beberapa kebijakan strategi sangat bertolak belakang dan menabrak regulasi, bahkan regulasi FIFA yang selama ini menjadi pedoman dan arahan kerja PSSI.
Beberapa koreksi sekaligus kritik yang dilontarkan rekan Akmal Marhali dari SOS (Save Our Soccer) perlu menjadi perhatian serius pengurus teras PSSI.
Sebagai pengambil keputusan tertinggi (bersama Komite Eksekutif), Edy sebaiknya memulai kerjanya dengan keputusan-keputusan yang pas dan tepat, serta mengurangi sekecil mungkin kesalahan dan pelanggaran. Apalagi sampai melanggar dan menabrak perintah Statuta FIFA.
Ada beberapa sasaran jangka pendek dan panjang yang dipatokkan Edy sebagai target prestasi kepengurusannya. Sebut saja, SEA Games 2017 dan Asian Games 2018 yang menjadi target tertinggi. Untuk mencapai target tersebut, Edy perlu menyiapkan segala persyaratan untuk mencapainya, termasuk pengondisian iklim kerja yang sehat di PSSI.
Tanpa kondisi kerja yang sehat, apalagi sampai ada blok-blokan di antara kepengurusan, maka akan sulit bagi PSSI memenuhi tergat yang dicanangkannya, juara SEA Games 2017, dan masuk empat besar atau semifinal Asian Games 2018.
Empat besar Asian Games adalah pertaruhan Edy sesungguhnya dalam menjawab tantangan reformasi total di tubuh PSSI yang dipercayakan Presiden kepadanya.
Target berlebihan
Memasang target Indonesia masuk empat besar Asian Games 2018, boleh saya katakan berlebihan. Tanpa melalui sebuah investigasi yang dalam, terutama mengukur kemampuan sendiri dan kekuatan calon-calon lawan, PSSI langsung patok target masuk empat besar. Dasar perhitungannya apa, ini yang masih abu-abu, terutama mengukur kemampuan sendiri.
Namun, untuk mengetahui kekuatan calon lawan, kita akan tercengang bila menyadari bahwa wakil-wakil dari ras kuning, jazirah Arab, serta pecahan Uni Soviet, dan juga Australia bukanlah lawan sebanding bagi tim nasional kita.
Thailand yang merajai kawasan ASEAN saja susah kita lewati. Belum lagi ada Vietnam yang terus memperlihatkan kekuatan seimbang dengan kita, lalu Malaysia yang menjadi seteru abadi kita, dan Singapura yang sejak memakai pemain naturalisasi tidak pernah kita bisa menang lawan mereka.
Apakah tim penasihat teknis PSSI sudah menyadari dan mengetahui semua kekuatan calon lawan kita ini, dan kemudian memasang target? Atau PSSI hanya mau menyenangkan pemerintah karena Asian Gamesdigelar di Indonesia, sehingga sepak bola jangan sampai mengecewakan? Hanya pengurus PSSI yang tahu.
Prestasi itu dicapai lewat sebuah proses dan butuh waktu. Prestasi tidak instan datangnya.
PSSI sedang dalam iklim menuju refromasi, dan reformasi itu dimulai dari perbaikan sumber daya manusia, regulasi, organisasi, kompetisi dan peningkatan mutu tim nasional di semua level.
Masih ada sejumlah event yang menanti di depan, sehingga PSSI tidak perlu tergesa-gesa mematok target di SEA Games dan Asian Games. Sebaiknya, lakukan lebih dulu perbaikan di internal.
Yang nampak saat ini justru tidak ada perubahan mencolok, baik di perubahan SDM untuk pos-pos strategi dan juga perbaikan regulasi. Sejumlah pos strategi masih diisi dan dikuasai muka-muka lama yang selama ini menjadi biang kehancuran dan kegagalan tim nasional kita. Juga kegagalan menjalankan roda kompetisi level tertinggi yang bersih dan transparan.
Sebuah langkah positif dan tepat telah diambil Edy dengan menyuarakan kepada Presiden agar pemerintah ikut membantu membangun dan menyiapkan infrastruktur, terutama sekretariat/kantor PSSI yang baru, serta NTC (Nasional Training Center). Presiden Joko Widodo pun menyambut posisitf permintasan PSSI tersebut.
Dalam proses menuju pembangunan sekretariat PSSI dan NTC, sebetulnya PSSI bisa “mencuri” start dengan memakai dana subsidi dari FIFA yang berkisar Rp 6 miliar setiap tahun. Apalagi, NTC di Sawangan Bogor yang dibangun memakai dana subsidi FIFA itu tidak transparan kegunaannya. PSSI harus mengeluarkan biaya, jika ingin memakai NTC di Sawangan untuk tim nasional. Ironis!
Bila mengukur kinerja PSSI hanya untuk empat bulan pertama ini, maka rasa-rasanya, Edy akan sulit membawa perubahan dan melakukan reformasi total di tubuh PSSI.