tipsbetcash.com – Rentang 19 tahun lalu, saat musim terakhir bersama Tottenham Hotspur, David Ginola pernah berkomentar pedas terhadap strategi Manchester United. Saat itu, ia menyebut Setan Merah tak bisa berkreasi dengan memainkan tiga penyerang sekaligus, sehingga terlihat monoton.
Kritikan tersebut tepat sasaran, meski tak sepenuhnya benar. Maklum, formasi andalan Sir Alex Ferguson tetap konvensional, yakni memasang dua striker, tanpa ada gelandang trengginas, juga jarang sayap yang punya penetrasi tinggi untuk masuk ke jantung pertahanan. Unggulan sang arsitek adalah pergerakan sayap murni, yang berujung umpan silang.
Semua itu berubah seiring pergerakan taktik baru yang diusung Sir Alex usai mereka menuai treble pada 1999. Sejak momen indah tersebut, sosok manajer legendaris ini mampu mengutak-atik dua strategi jitu, yakni memasang duet striker murni dan menempatkan target man.
Itu pula yang membuat Ginola berubah pendapat, juga beberapa tokoh penting lain, seperti eks anak buahnya, Mark Hughes ataupun Paul Ince. Mereka memuji keberanian Sir Alex untuk mengubah penampilan timnya menjadi lebih menyerang.
Sayang, lagi-lagi muncul kritikan tajam. Sosok yang pernah mengkritisi adalah Sven-Goran Eriksson. Eks Manajer Timnas Inggris periode 2001-2006 tersebut menganggap, Sir Alex tak berani memajang para pemain muda untuk menjadi kunci permainan timnya.
Lagi-lagi, tantangan tersebut berhasil dijawab dengan bukti di lapangan. Paling mencolok terjadi setahun setelah komentar pedasEriksson tersebut. Para pemain seniorManchesterUnited tak lagi mendominasi permainan. SirAlex berhasil memperlihatkan sistem pemerataan peran di rumput hijau.
Pada fase 2007 itulah, muncul sederet pemain muda yang notabene memiliki sifat lebih aggresif. Memang, fase ini tak semerata Fergi Babes angkatan 1992. Namun, dari sisi warna permainan dan sumbangsih, mereka mampu tampil bersamaan. Lebih menjadi magnet lagi, mereka tampil sebagai individu yang mampu menghipnotis penonton, tak hanya fans Manchester United, dengan warna merangsek, terutama tak malu untuk menggabungkan aksi team work dengan aksi individu.
Pada era ini, muncul deretan pemain muda dengan karakter menyerang yang sanga terlihat di lapangan. Semua itu berpadu dengan sistem permainan berpola ala tridente, meski belum seratus persen. Sir Alex tetap mempertahankan pakem 4-4-2, yang sedikit dikombinasikan menjadi 4-3-1-2, pada beberapa momen tertentu.
Sepanjang 2007-2008, tercatat ada tiga pemain muda yang memiliki peran dominan sepanjang musim. Mereka adalah duet bomber, Wayne Rooney (22 tahun) dan Carlos Tevez (23). Hebatnya, keduanya tak terpaku pada posisi siapa yang menjadi target man, melainkan fleksibel dalam bergerak di area pertahanan lawan.
Pergerakan mereka semakin mengerikan tatkala ada sosok The Rising Star asal Portugal, Cristiano Ronaldo (22 tahun). Sebenarnya level permainan Ronaldo dan Rooney sudah moncer sebelum musim tersebut. Namun, jika mengacu pada trio aggresor dengan amunisi muda, kemunculan Tevez menjadi pelengkap.
Satu nama lagi yang mampu muncul, meski sebagian besar dari bangku cadangan adalaha gelandang serang Nani.. Kuartet tersebut yang mampu memberikan ornamen menawan dalam setiap pertandingan.
Hebatnya mereka mampu membuktikan diri sebagai bagian penting dari dua prestasi penting Manchester United, yakni jawara Premier League dan Liga Champions!. Tak pelak, peran Tevez-Ronaldo-Rooney, menjadi bagian dari sejarah sejak era baru sepak bola Inggris, yakni Premiership.
Mereka menjadi simbol dari keberanian seorang manajer berinsting tinggi, terlepas sosok Tevez, Rooney dan Ronaldo, yang sebelumnya sudah matang. “Saya pikir mereka mampu memberi perspektif bagi sepak bola Inggris, juga Britania Raya. Anak-anak muda akan memiliki mental tangguh kalau mendapatkan kepercayaan, bukan semata dimainkan karena sudah tak ada pilihan lain di sana,” komentar Gary Pellister, mantan bek Manchester United.
Secara statistik, sumbangsih trio Tevez-Ronaldo-Rooney tergolong dominan. Pada sisi permainan di area Premier League misalnya, Tevez menyumbang 14 gol dalam 34 pertandingan, Ronaldo mengemas 34 main dengan koleksi 31 gol, plus Rooney yang mengoleksi 12 gol dalam 27 partai.
Dominasi mereka menjadi contoh ‘kebiasaan’ Manchester United untuk memberi kepercayaan di area depan. Perbedaan pada pasukan Sir Alex angkatan 1992, mereka tercipta sebagai tim utuh, dan nyaris tak ada yang berhasil di area penggempur. Sosok Ryan Giggs, David Beckham, Nicky Butt, Gary Neville dan Phil Neville, cenderung berada di area tengah serta belakang.
Kini, setelah hampir satu dekade, publik pecinta Manchester United layak bergembira. Deretan anak muda yang beroperasi di area depan, kembali mendapatkan kesempatan besar untuk berkembang. Entah kebetulan atau tidak, komposisi tersebut berasal dari tiga pemain muda, yang dianggap masa depan Setan Merah.
Segitiga emas tersebut ada pada sosok Marcus Rashford, Anthony Martial dan Jesse Lingard. Nama terakhir sebenarnya sudah muncul dalam beberapa musim terakhir, namun baru benar-benar mencolok pada tahun ini.
Trio Rashford, Martial dan Lingard memiliki keunikan tersendiri. Mereka tergolong serba bisa, dan tak terpaku hanya sebagai sosok bomber. Martial bisa beroperasi dari sisi kiri, Lingard terbiasa menjalani peran sekunder dari area kanan, dan Rashford tak hanya fasih menjadi target man, melainkan juga bergerak menusuk lini pertahanan lawan dengan menyisir lapangan.
Peran ketiganya mengingatkan publik pada beberapa kombinasi serupa yang pernah dimiliki Manchester United. Selain trio Tevez-Ronaldo-Rooney, pada 1994-1995, The Red Devils pernah punya sosok Lee Sharpe (23 tahun), Ryan Giggs (21 tahun) dan Andy Cole (23 tahun). Mereka mampu memberi kontribusi nyata.
Sosok Sharpe tampil 28 partai dengan ‘bonus’ 3 gol, lalu Ryan Giggs dengan satu gol dalam 29 partai serta Cole (12 gol/18 partai). Sebenarnya ada dua anak muda berkarakter menyerang yang muncul bareng namun karakter aggresif tak terlalu terlihat, yakni Keith Gillespie (1 gol/9 partai) dan Roy Keane (2 gol/23 laga).
Pada permulaan era Premier League, sebenarnya Manchester United sudah pernah memiliki trio anak muda. Mereka tak lain Ryan Giggs (19 tahun) dan Lee Sharpe (21 tahun) yang tampil dominan, serta bomber Dion Dublin (23 tahun), yang baru muncul.
Setelah era tersebut, juga sejak 2007-2008, dominasi trio anak muda di lini serang kubu Carrington tak banyak berubah. Sesekali bintang lain muncul, meski tak terlalu dominan, seperti Jordi Cruyff (22 tahun) dan Ole Gunner Solskjaer (23 tahun) pada musim 1996-1997.
Solskjaer tampil mencolok dengan 18 gol dalam 33 pertandingan Premiership, berbanding tiga gol pada 16 partai milik Cruyff. Lalu pada 1998-1999, baru muncul sosok David Beckham dan Nicky Butt, yang kala itu menapak di usia 23 tahun.
Sebelum kedatangan Tevez, sosok Rooney dan Ronaldo muncul bersamaan pada 2004-2005. Rooney menuai 11 gol (29 partai) dan Ronaldo mengumpulkan 5 gol (33 partai), hanya di level Premier League.
Sekarang, meski tak lagi ditangani Sir Alex, publik bisa berharap pada penampilan trio Rashford, Martial dan Lingard. Trio ini terlihat mampu saling melengkapi, meski tak selalu bermain bersama. Namun melihat corak berbeda dan multifungsi, ketiganya bisa menjadi kekuatan kunci, setidaknya mulai musim depan.
Trio tersebut sudah mampu memberikan harapan tinggi pada fans Manchester United, yang berharap mereka memiliki jagoan muda lagi setelah era Fegie Babes, Tevez, Rooney sampai Ronaldo. Maklum, fans sempat trauma dengan kegagalan beberapa anak muda yang awalnya diharapkan bisa melaju mulus. Contoh teraktual tentu saja Javier Hernandez dan Adnan Januzaj, yang hanya sesaat cemerlang, namun karena tak konsisten, justru tersingkir.
Modal awal Rashford, Martial dan Lingard seharusnya tak memudahkan mereka untuk kalah bersaing dengan bintang utama. Lingard misalnya, sudah mulai masuk ke tim senior Manchester United pada musim panas 2011. Ia naik kelas setelah membawa tim muda Old Trafford menjadi jawar Piala FA 2010-2011.
Meski harus bersabar karena baru benar-benar mendapat kesempatan bermain pada tahun 2013, Lingard menunjukkan kemampuan masa depannya. Dia mencetak dua gol pada debut bersama Setan Merah, saat bersua A-League All Stars, di Sydney, dalam ajang laga persahabatan (20/7/2013).
Sempat meredup, musim ini Lingard menunjukkan tajinya. Manajer Louis van Gaal mengakui, Lingard mampu menaikkan level permainan. Ia dianggap fleksibel, sehingga mudah dipasangkan dengan siapapun, dan di posisi manapun.
Musim ini, pemuda berpostur 168 cm ini sudah bermain 17 partai di area Premier League, dengan kesempatan berlaga 1.122 menit. Ia menyumbang 4 gol, 1 assist, rata-rata tembakan mencapai 1,3 per partai, dengan akurasi tembakan 75 persen. Ia juga jago dalam urusan umpan, dengan level akurasi 81,8 persen.
Fakta tersebut sangat jauh dengan pencapaian dalam beberapa tahun sebelumnya. Sejak 2013, terutama kala berstatus pemain pinjaman dBirmingham City, Brighton & Hove dan Derby County, angka statistik tersebut tak pernah muncul.
Kemampuan individu tak terlalu terlihat saat berada di tiga klub tersebut, meski sempat menonjol di Derby County saat akhir musim. Saat itu, Manajer Derby County, Steve McClaren menganggap kemampuan Lingard seharusnya bisa dimanfaatkan Manchester United.
“Dia punya akselerasi yang bagus, dengan timing di atas rata-rata. Kelemahannya hanya pada konsistensi pergerakan sepanjang 90 menit, dan itu sudah terlihat saat bersamaku,” ucap Steve McClaren, tahun lalu.
Ucapan pria yang baru dipecat dari jabatan manajer Newcastle United tersebut seperti didengar Louis van Gaal. Kemampuan Lingard meningkat tajam, dan semua itu berkat ‘guru’ yang tepat, yakni Ryan Giggs.
Seperti pengakuan Lingard di Manchester Evening News, beberapa waktu lalu, sosok Giggsy menjadi bagian penting dari peningkatan level permainan dari alumni akademi sepak bola Penketh United tersebut. “Giggs memberikan banyak warna, baik pergerakan, membuka ruang ataupun timing untuk mengarahkan bola ke gawang lawan langsung, ataupun sekadar memberi umpan,” jelas Lingard.
Sentuhan senior juga menjadi bagian penting perjalanan Marcus Rashford. Namanya menjadi perbincangan hangat saat masuk menjadi starting line-up saat Manchester United bersua Midtjylland pada babak 32 besar Liga Europa (25/2/2016). Kala itu, ia mencetak dua gol, sekaligus menuai rekor sebagai pemain termuda Setan Merah yang mampu mencetak gol di kompetisi Eropa, melewati rekor George Best.
Pada ajang Premier League, Rashford mendapat kepercayaan tinggi saat timnya bersua Arsenal, tiga hari usai laga di Eropa. Hebatnya, ia menuai dua gol dan satu assist dan memberi kemenangan 3-2 bagi United. Ia pun tercatat sebagai pemain termuda ketiga dalam sejarah MU, setelah Federico Macheda dan Danny Welbeck.
Namanya semakin moncer setelah pada sebelas hari lalu, dia mencetak satu-satunya gol ke gawang Manchester City. Lebih istimewa, gol tersebut memberi kemenangan, sekaligus menjadi satu-satunya hasil maksimal dalam laga away MU sejak 2013!.
Gol itu juga membuatnya menjadi pemain termuda yang mampu mencetak gol dalam derbi Manchester. Ia baru berusia 18 tahun dan 141 hari, sekaligus menjadi pemain pertama kelahiran asli Manchester yang mampu mencetak gol sejak Danny Welbeck pada 2013.
Berkat penampilan gemilang, Rashford sempat masuk ke daftar panggil timnas Inggris untuk Euro 2016. Namun, Pelatih Akademi Manchester United, Nicky Butt menolak kesempatan emas bagi seorang Raashford. Ia beralasan, pemanggilan sang anak didik dianggap prematur, dan justru punya kemungkinan menghancurkan masa depan.
Butt beralasan, dirinya tak ingin pengalaman yang pernah melanda Michael Owen dan Daris Vassell ataupun Michael Johnson, terulang lagi. Maklum, tiga nama tersebut sempat mencuat pada eranya, tapi langsung tenggelam karena dianggap terlalu dipaksa untuk bermain di level timnas senior.
“Dia akan menapak secara bertahap. Dia asset milik MU dan timnas, jadi masa depannya masih tergolong panjang. Kami tak ingin memaksanya untuk terus bermain. Pelajaran masa lalu memberi peringatan serius bagi tim pelatih,” tutur Butt.
Sepanjang musim ini, Rashford sudah mencatat 4 partai di Premier League, dengan koleksi 3 gol dam 1 assist. Sisi agresivitas tergolong tinggi dengan 1,3 tembakan per partai, akurasi umpan 83,1 persen dan ketepatan menembak ke arah gawang lawan ada di angka 100 persen.
Artinya, pemuda berusia 18 tahun ini tergolong efektif sebagai pemain depan. Terkait level akurasi tembakan yang sempurna, Butt punya cerita. Saat berkostum tim U-21, Rashford memiliki kebiasaan menendang ke arah gawang minimal 100 kali dari segala sisi dalam waktu 30 menit.
“Kadang dia terlalu keras, tapi setidaknya itu menggambarkan motivasi tinggi untuk berkembang. Dia sangat menonjol, dan seharusnya tak sulit baginya menjadi pemain bintang. Tapi, tetap saja tak bisa dipaksa untuk terus bermain, walau itu untuk musim depan sekalipun,” tegas Butt.
Penegasan Butt mencerminkan sikap waspada terhadap para bintang muda Manchester United. Maklum, kubu rival Manchester City ini punya pengalaman tak sedap saat berurusan dengan pemain muda.
Mereka sempat memiliki beberapa bintang muda yang diprediksi menjadi bintang terang, tapi justru meredup dan tak terpakai maksimal. Beberapa yang tercatat dalam sejarah MU, antara lain Mati, Quinton Fortune, Mark Wilson, Jonathan Greening, David Healy, Luke Chadwick, Michael Clegg dan bomber Alex Notman.
Lalu ada juga nama eks bintang akademi Manchester United, Bojan Djordjic yang mati kutu karena dipaksa naik kelas sebelum waktunya. Masih ada Danny Webber, Daniel Nardiello serta Kieran Richardson, yang akhirnya ‘menyerah’.
Bintang muda lain bertipikal aggresor yang moncer di tim junior tapi gagal bersinar kala bergabung di tim senior, seperti Mads Timm (2002-2003) dan Chris Eagles (2003-2004). Ada juga Giuseppe Rossi (2004), Sylvan Ebanks-Blake (2004), Ryan Shawcross (2006), terus pemain yang sempat disebut-sebut masa depan Brasil dan Italia, Rodrigo Possebon (2007) serta striker Fraizer Campbell.
Hal itu pula yang kemudian membuat Anthony Martial mendapat pengawasan khusus. Bintang berkebangsaan Prancis ini juga sedang dijaga ketat frekuensi penampilan di tim senior. Pelatih Manchester United U-21, Warren Joyce sudah mewanti-wanti jajaran di atasnya untuk berhati-hati menangani sang striker berusia 20 tahun tersebut.
Ia mengingatkan, penampilan apik Martial sejak datang ke Old Trafford tak akan konsisten sepanjang musim. Ia dianggap bakal memiliki lajur valuasi grafik performa yang cukup beragam. “Dia masih banyak belajar. Otot-otonya belum maksimal, dan saya pikir dalam setahun ke depan dia harus terus menempa fisiknya. Dia sangat potensial, dan itu sudah diperlihatkan, tapi jika tak bisa ditangani baik, nasibnya akan sama dengan beberapa pemain lain sebelum dia,” jelas Joyce.
Ucapan Joyce merujuk pada beberapa bomber yang moncer di satu pertandingan, tapi melempem pada musim berikutnya. Di situ ada nama Federico Macheda, Mame Biram Diouf, Bebe dan sang missing line, Paul Pogba (2010).
Kecuali Pogba, tiga pemain lain bernasib tragis setelah gagal menjaga penampilan. Saat ini Macheda terlempar ke Nottingham Forest, Biram Diouf terdampat di Stoke City dan Bebe terbang jauh ke kompetisi La Liga bersama Rayo Vallecano.
Kondisi itulah yang diharapkan tak terjadi pada Martial. Maklum, harga transfer mencapaii 36 juta pounds atau sekitar Rp 720 miliar, dan bisa melonjak menjadi Rp 1,16 triliun jika tampil apik musim ini, dianggap terlalu mahal untuk ukurang pemain berusia 20 tahun. Namun, sang pemain sudah menunjukkan kapabilitasnya sepadan dengan banderol.
Berpostur 181 cm, ia tergolong ideal untuk dipasang sebagai penyerang sayap ataupun target man, bergantian dengan Wayn Rooney, seperti musim ini. Ia sudah bermain dalam 24 partai, dengan koleksi 2084 menit, plus 7 gol dan 3 assist.
Imbas kesempatan bermain yang banyak di Premier League, Martial menuai catatan tembakan 1,9 per partai, akurasi umpan 77,5 persen dan akurasi tembakan 70 persen. Menurut situs Premier League, kemampuan di depan gawang tergolong lengkap, karena sumber gol berasal dari seluruh titik di area pertahanan musuh.
Kemampuan Martial tak hanya mencetak gol ataupun menjadi hantu lini belakang musuh, melainkan juga daya jelajahnya yang tergolong tinggi. Apalagi kekuatan kaki kanan dan kirinya tergolong seimbang.