David de Gea berubah dari kiper yang meragukan, menjadi kiper yang teramat bisa diandalkan, lalu jadi pemain yang saban musim panas datang jadi incaran.
Sedari berkiprah di Atletico Madrid, sesungguhnya, De Gea sudah menunjukkan performa menjanjikan. Ketika masih bermain di level junior dulu, rekan-rekannya memanggilnya dengan sebutan “Van der Gea” untuk menyama-nyamakannya dengan Edwin van der Sar, salah satu kiper terbaik yang pernah dimiliki Tim Nasional Belanda dan Manchester United.
Tak heran ketika Quique Sanchez Flores, pelatih Atletico ketika itu, bertanya kepada pelatih kipernya, Emilio Alvarez, soal siapa kiper terbaik yang berada di skuat saat itu —dengan adanya Sergio Asenjo sebagai kiper utama—, Alvarez tak ragu menunjuk De Gea.
Tapi, dari sinilah cerita berubah menjadi sedikit berkerikil untuk De Gea.
Kepiawaiannya dalam menghentikan dan refleksnya yang tidak bisa dibilang jelek membuat Sir Alex Ferguson memutuskan untuk menjadikannya suksesor Van der Sar. Waktu itu, di akhir musim 2010/2011, Van der Sar memutuskan untuk pensiun.
Semua orang tahu bahwa De Gea bisa saja sukses di United. Namun, yang terjadi di lapangan kala itu membuat frase “bisa saja” memiliki aura yang berbeda.
Sebagai bocah 21 tahun yang datang ke negara dengan kultur, cuaca, dan bahasa yang berbeda, De Gea juga tampak canggung di lapangan. Satu-dua kali ia memang berhasil melakukan penyelamatan bagus. Namun, di kesempatan lain ia kesulitan untuk menghadapi umpan-umpan silang khas daratan Inggris.
Posturnya yang cungkring juga membuatnya kesulitan ketika harus berduel untuk menangkap atau meninju bola yang datang lewat udara. Musim pertama itu pun menjadi musim yang tidak bisa dibilang luar biasa untuk De Gea.
Ferguson memang sepenuhnya percaya kepada pemain kelahiran 7 November 1990 tersebut, tapi tidak demikian halnya dengan pundit dan media-media Inggris. Label “dodgy goalkeeper” (kiper yang meragukan) pun melekat padanya.
Beruntunglah De Gea memiliki Eric Steele, pria yang waktu itu menjabat sebagai pelatih kiper United. Paham bahwa De Gea kesulitan beradaptasi karena masalah bahasa, Steele rela bersusah payah belajar bahasa Spanyol —alih-alih De Gea yang mempercepat pemahamannya akan bahasa Inggris.
Steele dalam sebuah wawancara menyebut beberapa hal, selain bahasa, yang menghambat adaptasi De Gea. Selain kebiasaan siesta (tidur siang) orang Spanyol, De Gea juga harus tinggal sendirian di rumah besar tanpa kehadiran orang tua atau pacar. Singkat kata, De Gea juga kerap homesick.
Kesabaran Steele-lah yang membantu De Gea beradaptasi. Kurva De Gea menanjak sejak musim keduanya bersama United, dan semenjak saat itu, sulit untuk kembali menyebutnya “dodgy goalkeeper”.
Ironisnya, kurva menanjak De Gea justru muncul berbarengan dengan kurva menurun United. Sang klub berbalik jadi amat bergantung kepada sang penjaga gawang. Dari musim 2013/2014 hingga 2015/2016, entah sudah berapa kali pertahanan —dan sistem permainan— bobrok United berterima kasih pada De Gea.
Di tengah ambruknya United itulah Real Madrid datang menggoda. Sekalipun De Gea adalah didikan Atletico, ia tetaplah putra asli kota Madrid. Rivalitas antara Atletico dan Madrid tidak menghalanginya untuk menyeberang.
Pada awal musim 2015/2016, jika bukan karena tragedi telat mengirim dokumen transfer via mesin fax, De Gea pasti sudah menjadi pemain Madrid. Namun, begitu transfer itu gagal, De Gea langsung menyatakan kesetiaannya kepada United dengan menandatangani kontrak anyar.
Di akhir musim itu, United mendapatkan trofi Piala FA, tetapi permainan mereka yang membosankan membuat manajer mereka waktu itu, Louis van Gaal, didepak. Lalu, datanglah Jose Mourinho.
Dengan pede-nya, Mourinho menyebut bahwa jika seorang penjaga gawang menjadi pemain terbaik klub selama tiga musim beruntun, tentu ada yang salah. Mourinho tidak asal bicara. Ia memang memperbaiki permainan United sehingga klub berjuluk “Setan Merah” itu tak lagi harus bergantung pada De Gea.
Masalahnya, ketika permasalahan di lini tengah dan belakang relatif teratasi, United punya penyakit baru: buang-buang peluang. Akibatnya, sekalipun tampil dominan atas lawan, cukup sering mereka mengakhiri laga dengan hasil imbang.
Banyaknya hasil imbang itu membuat United kesulitan untuk masuk zona empat besar Premier League yang berarti, jika finis di dalam zona tersebut, tiket ke Liga Champions musim depan sudah pasti didapat. Jika kembali gagal lolos ke Liga Champions musim depan, mungkinkah United kembali bisa mempertahankan De Gea?
Pertanyaan itulah yang kemudian membuat rumor bahwa Madrid akan menggaetnya di musim panas nanti muncul kembali. Rumor tersebut rupanya cukup bikin gerah Mourinho hingga akhirnya dia memberikan penegasan pada konferensi pers baru-baru ini.
“Kini setiap pertandingan menuntut kami untuk fokus total. Saya tidak melihat David memiliki masalah dengan itu. Di akhir musim nanti barulah saatnya seorang pemain memikirkan masa depan mereka. Tapi, ingat, itu di akhir musim nanti,” kata Mourinho seperti dilansir ESPNFC.
De Gea tidak tampil pada dua laga terakhir United, yakni kala menghadapi Sunderland di Premier League dan Andelecht di leg I babak perempat final Liga Europa. Mourinho menyebut bahwa De Gea mengalami cedera ringan, tetapi beberapa media mengabarkan bahwa Mourinho sengaja tidak memainkannya karena alasan lain.
Apakah ini pertanda Madrid mendapatkan angin lagi?