Liga Inggris Liga yang Fisikal, Liga Spanyol Teknikal, Liga Italia Taktikal
Liga-liga top Eropa punya stereotipe yang berbeda-beda. Liga Inggris, kata mereka, adalah liga yang physical. Kemudian, Liga Spanyol merupakan liga yang technical, sementara Liga Italia adalah liga yang tactical.
Ketiga stereotipe itu sebenarnya menekankan pada tiga atribut terpenting yang harus dimiliki baik oleh pemain maupun tim sepak bola. Tak ada satu hal yang lebih penting dari yang lainnya. Ketiga hal itu menjadi satu kesatuan membentuk unit yang utuh.
Meski sama pentingnya, setiap orang atau tim tentu memiliki satu atribut yang jadi andalan utama. Burton Albion, misalnya, tentu tidak mampu bersaing secara teknikal dengan Real Madrid. Maka dari itu, mereka kemudian pasti akan mencari jalan lain untuk memenangi pertandingan. Perihal mencari jalan lain itulah yang kemudian membentuk stereotipe itu.
Sepak bola Italia dikenal sangat mengandalkan taktik karena secara fisik, orang-orang Italia memang inferior dibanding bangsa Eropa lain. Maka dari itu mereka berusaha akan selalu memenangi pertandingan dengan mengakali lawan, entah itu dengan cara yang legal (menggunakan taktik) atau ilegal (aksi teatrikal).
Meski begitu, hal lain bukannya tidak penting. Entah sudah ada berapa puluh fantasisti hebat yang pernah mentas di tanah Italia. Sejak era Giuseppe Meazza hingga Francesco Totti, Italia pun jadi gudang pemain-pemain berteknik tinggi.
Tak hanya itu, dari Italia pun banyak bermunculan pemain-pemain berkarakter keras. Jika Anda familiar dengan nama-nama seperti Claudio Gentile, Pietro Vierchowood, atau Paolo Montero, maka Anda pasti paham jika permainan fisik pun punya tempat yang besar di Italia.
Saat ini, di Italia sedang terjadi perubahan cara bermain. Selain karena tuntutan sepak bola modern, ketidakmampuan klub-klub Italia untuk bersaing secara finansial akhirnya memaksa mereka untuk memainkan sepak bola yang lebih “kasar”. Hal ini tak hanya terlihat dari karakter pemain-pemain belakang saja, tetapi juga para pemain tengah yang menjadi motor permainan.
Di bawah Antonio Conte, Juventus pernah punya dua pemain yang sangat menonjol atribut fisiknya, Arturo Vidal dan Paul Pogba. Kedua pemain itu memang punya kemampuan teknik yang bagus, namun keberadaan mereka membuat lini tengah Juventus menjadi lebih kokoh. Vidal dan Pogba bertugas untuk melindungi Andrea Pirlo yang Agung di pos quarterback. Selain itu, mereka juga disokong oleh Stephan Lichtsteiner dan Kwadwo Asamoah yang juga sangat kuat dalam urusan fisik.
Kini, Pogba dan Vidal sudah tidak lagi berseragam Juventus. Selain itu, Lichtsteiner pun mulai menurun, sementara Asamoah belum pulih dari inkonsistensi pascacedera. “Si Nyonya Tua” pun kini menjadi sangat technical dengan keberadaan Dani Alves dan Alex Sandro di pos full-back/wing-back, plus Miralem Pjanic dan Sami Khedira di sentral permainan.
Hal berkebalikan dialami salah satu pesaing terkuat Juventus, Roma. Seperti yang dikatakan Daniele De Rossi, kepergian Seydou Keita dan Miralem Pjanic membuat Roma menjadi tim yang sangat mengandalkan fisik. Pasalnya, sentral permainan mereka kini dipegang oleh Radja Nainggolan dan Kevin Strootman.
De Rossi pun tampak tidak keberatan dengan hal ini dan nyatanya, Roma pun masih sanggup menjadi ancaman serius bagi Juventus. Dengan keberadaan dua gelandang tersebut, Roma menjadi lebih energik meski terkadang kesulitan untuk membongkar pertahanan lawan yang kelewat rapat.
Roma sebenarnya tidak sendirian. Rival sekota mereka, Lazio, pun demikian.
Di Lazio, ada sosok pemain muda dengan atribut fisik mumpuni dalam diri Sergej Milinkovic-Savic. Pemain asal Serbia itu, meski memiliki kemampuan teknikal yang tak buruk, menonjol karena keunggulan fisiknya.
Postur Milinkovic-Savic sendiri memang menjulang tinggi, 193 cm. Keunggulan postur itu kemudian terejawantahkan dengan kemampuannya memenangi duel-duel. WhoScored mencatat bahwa pemain 21 tahun ini rata-rata memenangi 5 duel udara per gim. Catatan itu sendiri merupakan yang terbaik di Serie A. Uniknya, di peringkat kedua, ada nama pemain Roma, Edin Dzeko, yang punya rataan 4 duel udara per gim. Catatan milik Dzeko itu seakan mengafirmasi pernyataan De Rossi tadi.
Kemampuan bermain fisik itu juga tampak di tim kejutan musim ini, Atalanta. Dengan mengandalkan Roberto Gagliardini yang kini sudah berseragam Internazionale, La Dea mampu duduk di peringkat keenam klasemen sementara. Gagliardini sendiri merupakan pemain yang jenisnya mirip dengan Milinkovic-Savic. Keduanya sama-sama muda, bertubuh tinggi besar, dan mampu mengambil keuntungan dari posturnya. Ketika menghadapi Juventus akhir pekan lalu, Gagliardini-lah pemain Inter yang paling banyak membuat upaya mencetak gol (3 upaya). Adapun, 2 dari 3 upaya yang dibuat pemain berusia 22 tahun ini dibuatnya dengan sundulan kepala. Gagliardini pun menjadi pemain tengah Inter yang paling menonjol pada laga itu.
Selain Gagliardini, Atalanta juga memiliki sosok Franck Kessie. Pemain asal Pantai Gading ini dikenal sebagai pemain yang dinamis. Artinya, Kessie adalah pemain yang sangat aktif bergerak ke sana ke mari, baik untuk membantu serangan maupun pertahanan. Selain memiliki dribel yang bagus, pemuda 20 tahun ini juga memiliki kekuatan fisik yang prima. Mungkin usia belia Kessie berpengaruh pula pada gaya bermainnya. Akan tetapi, sejauh ini seperti itulah cara Franck Kessie bermain sepak bola.
Satu tim kuat lain yang juga dikenal akan permainan fisiknya adalah Napoli. Meski di bawah Maurizio Sarri mereka memainkan sepak bola yang lebih cantik dan bermartabat, Napoli pernah menjadi tim papan atas yang sangat physical di bawah Walter Mazzarri. Bermain dengan formasi 3-4-2-1, Napoli-nya Mazzarri mengandalkan serangan balik cepat dan pemain-pemain yang mampu berduel. Bahkan, bomber andalan mereka, Edinson Cavani, pun dikenal sebagai pemain yang sulit dikalahkan dalam duel.
Fiorentina pun begitu. Meski menjadikan penguasaan bola sebagai prioritas, cara mereka menguasai bola ini membutuhkan jagal-jagal seperti Milan Badelj dan Carlos Sanchez atau pemain dinamis seperti Matias Vecino, Federico Chiesa, dan Maximiliano Olivera.
Kemudian, ada pula Milan. Sejak mulai memasuki zaman jahiliyah pasca-2011, Milan pernah dikenal sebagai klub dengan koleksi gelandang tukang pukul terbanyak di Serie A. Ketika itu, Milan ada di bawah asuhan Max Allegri dan gelandang-gelandang yang jadi andalan Allegri ketika itu adalah nama-nama seperti Kevin Prince Boateng, Antonio Nocerino, dan Nigel De Jong.
Meski begitu, harus diakui bahwa Milan, ketika itu, memiliki pemain-pemain seperti itu karena keadaan. Ketidakmampuan finansial mereka membuat manajemen kemudian harus memutar otak dan akhirnya, Milan pun memutuskan untuk bermain dengan cara seperti itu.
Kini, Milan tampak sudah kembali ke jalan yang benar. Dengan pemain-pemain berteknik macam Jack Bonaventura, Andrea Bertolacci, dan Manuel Locatelli, Milan sedang membangun masa depan mereka.
Pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan fisik adalah sesuatu yang tak bisa ditawar dari aktivitas persepakbolaan. Apa pun stereotipe yang dilekatkan, tanpa dua atribut lain, sepak bola takkan berjalan. Serie A kini mungkin sedang berusaha untuk menggunakan solusi sementara agar dapat bertahan hidup. Akan tetapi, semakin maraknya permainan fisik di Serie A barangkali juga bisa menunjukkan bahwa dalam sepak bola modern, identitas (atau stereotipe) yang murni sudah tidak ada lagi.