Kuda Hitam Euro 2016, Islandia Jelmaan Leicester City
Islandia Kuda Hitam Menatap Semifinal Euro 2016
tipsbetcash.com – Sebagai sebuah negara kecil di dekat Kutub Utara yang hanya berpopulasi 330.000 jiwa (terkecil yang pernah masuk ke putaran final Piala Eropa), sepakbola Islandia nyaris tidak dikenal. Tentu belum ada seorang pun pemain top yang lahir dari sana, meski sejumlah pesepakbolanya kini telah berkiprah di Liga Primer Inggris dan Liga Champions atau kompetisi bergengsi lainnya di Eropa.
Datang sebagai “tim anak bawang” ke Prancis, Islandia adalah salah satu kesebelasan yang paling tidak diperhitungkan, untuk tidak menyebut diremehkan kehadirannya sebagai kontestan. Jika dibandingkan dengan Inggris, lawannya di Stadion Allianz Riviera, Nice, Selasa (28/6) dinihari WIB tadi, yang ditempatkan pada koefisien 9/1 sebelum kick-off Euro 2016, mereka cuma menduduki koefisien 125/1. Teramat jauh.
Tetapi siapa nyana kini mereka mampu menempatkan diri dalam berita utama media-media besar Eropa dan dunia? Sehingga semua orang pun dibuat terperangah dan para petaruh bola hanya bisa meringis. Bagaimana mungkin sebuah tim yang untuk pertama kalinya tampil di sebuah turnamen besar sekelas Piala Eropa, dengan dokter gigi sebagai pelatih dan sutradara di posisi kiper, bisa melaju sampai babak perempatfinal (!)?
Tetapi itulah kiranya yang terjadi.
Sadar tak memiliki skuat sebaik tim-tim lawannya, sejak laga pertama melawan Portugal, Islandia sudah menerapkan permainan defensif dengan pertahanan superketat pada formasi 4-4-2. Tercatat, rata-rata penguasaan bola mereka hanyalah 35% dengan 21 tembakan dalam tiga laga. Tak heran karenanya, pertahanan kaku ini pun membuat seorangsuperstar seperti Christian Ronaldo bagai membeku dan akhirnya frustasi. Apalagi sejak semula CR7 dinilai sudah meremehkan lawan sebelum pertandingan dan menduga akan mendapatkan pundi gol.
Betapa tidak, kendati pada pertandingan tersebut Portugal begitu mendominasi hingga 72% penguasaan bola dengan 26 usaha mencetak gol, mereka hanya bisa menghasilkan satu angka lewat Luis Nani sebelum kemudian dibalas Birkir Bjarnason tatkala babak kedua baru berjalan lima menit.
“Ini sedikit bikin frustrasi, kami berusaha keras untuk menang, Islandia tak melakukan apapun. Ketika mereka tidak mencoba bermain dan cuma bertahan, bertahan, bertahan, menurut saya ini menunjukkan mentalitas tim kecil dan takkan melakukan apapun di kompetisi ini,” demikian ungkap pemain Real Madrid itu usai laga.
Bahkan lebih jauh, CR7 juga melontarkan cibiran sinis terhadap Irlandia: “Saya kira mereka juara Piala Eropa melihat cara mereka merayakannya di akhir laga, itu tak bisa dipercaya.”
Ah, Ronaldo barangkali memang layak frustasi. Belum lagi mengingat dalam laga itulah momen baginya untuk menyamai rekor Luis Figo sebagai pemain Portugal dengan capsterbanyak. Namun ucapannya itu, ditambah dengan sikap kurang sportifnya tidak mau bersalaman dengan para pemain Islandia, kontan menjadikannya bulan-bulan publik dan media.
Apa tanggapan para pemain Islandia?
Kejumawaan Ronaldo itu justru dengan enteng direspons oleh Gylfi Gunnarsson dengan mengunggah foto dirinya dan sang kapten Aron Gunnarsson, yang sedang memegangi replikajersey Portugal bernomor punggung 7 sambil tertawa lebar di akun Instagram. Foto tersebut juga disertai pesan “@alfredfinnbogason for @arongunnarsson …he finally got a Ronaldo shirt#shirtsforaron #fakeshirt” sebagai sindiran atas penolakan CR7 bertukar kaos dengan Aron.
Dan selepas itu, Strakarnir Okkar terus berderap maju. Tak jadi mudik untuk melaksanakan pemilu sebagaimana prediksi khalayak sebelum pluit Euro 2016 ditiupkan. Akibatnya, wajar saja apabila masih banyak yang merasa kaget (termasuk rakyat negeri salju itu sendiri) ketika mereka akhirnya keluar sebagairunner-up Grup F usai menahan imbang Hongaria 1-1 dan mengalahkan Austria 2-1. Ya, tanpa sekalipun menelan kekalahan dari tiga laga di fase grup!
“Ini sebuah dongeng,” demikian kata Aron Gunnarsson, sebagaimana dikutip Gordon Rayner, kepala reporter The Telegraph. “Seluruh rakyat Islandia menonton Premier League dan mereka mengikuti sepakbola Inggris. Itu merupakan sesuatu yang kami mimpikan dan itu merupakan sesuatu yang pemain lain inginkan hingga sepanjang hidup kami,” lanjut penggemar Manchester United yang menjadi fans berat Wayne Rooney itu.
Tentu saja kita bisa merasakan ada nada kebanggaan dari kata-kata tersebut, sekaligus sesuatu yang mengharukan. Namun toh Islandia sudah memiliki banyak dongeng (fairy-tale), seperti The Cottager And His Cat, The Three Robes, Asmund and Signy, Prince Ring, sampai Thorstein. Karena itu, alih-alih seperti menulis dongeng (fairy-tale), kerja keras mereka itu seyogianya lebih pantas disebut mengukir sejarah. Ya, sejarah sepakbola mereka yang nantinya bakal menjelma jadi sebuah saga dan dituturkan kepada anak-anak Viking di kaki-kaki gunung berapi, hingga turun-temurun. Bahwa pada suatu masa, mereka yang belum ada apa-apanya bisa mengagetkan dunia. Bahwa tiada yang mustahil di bawah kolong langit (maupun lapangan hijau) jika ada tekad dan usaha.
Saga (jamak: sögur) adalah sebuah kosakata yang berasal dari bahasa Old Norse (Nordik Kuno), yakni bahasa yang dipakai bangsa-bangsa Skandinavia, terutama Viking, pada Abad Pertengahan di Islandia dan Norwegia. Saga lebih dekat maknanya dengan epos kepahlawanan. Yang mana dalamMerriam-Webster Dictionary, ia diartikan sebagai “a long story about past heroes from Norway and Iceland” dengan penjelasan antara lain: (1) a prose narrative recorded in Iceland in the 12th and 13th centuries of history or legendary figures figures and events of the heroic age of Norway and Iceland. (2) a modern heroic narrative resembling the Icelandic saga. Begitu pulaCambridge Dictionaries Online mendefinisikannya sebagai “a long story about Scandinavian history, written in the Old Norse language in the Middle Ages, mainly in Iceland.”
Sebagai keturunan bangsa petualang Viking, konon banyak orang Islandia yang sampai sekarang masih cakap membaca saga-saga kuno yang menceritakan keperkasaan leluhur mereka itu dengan cukup baik. Hal ini lantaran bahasa Nordik yang mereka pergunakan nyaris tak berubah ejaan maupun tata bahasanya selama seribu tahun.
Ceritera saga biasanya berisi sejarah suku-suku Skandinavia seperti pelayaran bangsa Viking, migrasi ke Islandia, dan perseteruan di antara keluarga-keluarga bangsa Nordik. Narasinya kebanyakan berdasarkan peristiwa sejarah, terutama yang berlangsung di Islandia pada abad ke-9, 10, dan 11 awal yang kerap disebut sebagai Sage Age. Kisah-kisah ini boleh dibilang mencerminkan perjuangan dan konflik yang muncul dalam masyarakat Islandia generasi awal.
Sebagai sastra lisan, sebagian besar saga syahdan dicatat pada abad ke-13 dan 14. Para penulis atau lebih tepat para pencatatnya tak pernah diketahui. Namun Saga Egils misalnya, diyakini oleh para sarjana ditulis oleh Snorri Sturluson, seorang keturunan pahlawan saga itu sendiri. Edisi modern standar dari cerita-cerita ini dikenal sebagai Íslenzk fornrit.
Kita tidak tahu, di antara para penggawa Viking yang bertempur di Prancis hari-hari ini, adakah seorang keturunan pahlawan yang dimuliakan namanya dalam saga. Itu barangkali tidak penting. Tetapi, seperti kata Presiden Kehormatan Federasi Sepakbola Islandia (KSI), Eggert Magnusson, sebelum pertandingan melawan Inggris: “Kami sudah lolos dari grup dan bagi kami sekarang yang ada hanyalah kebahagiaan dan kami akan melaju dengan senyum di wajah kami, tanpa kekhawatiran dan tak jadi soal apa yang bakal terjadi. Saya rasa tekanannya ada pada Inggris.”
Mungkin Magnusson benar. Bagaimana pun lolos ke babakknock-out untuk Islandia memang sudah memenuhi target — apalagi sampai ke babak perempatfinal. Selebihnya adalah berjuang untuk yang terbaik, sebagaimana nenek moyang mereka dulu berjuang menaklukkan lautan dan gunung-gunung es.
Dan sekali lagi, ini merupakan buah hasil jerih payah bertahun-tahun yang tak mudah, disertai ikhtiar dengan semangat militan: Viking Spirit! Sama sekali bukanlah sebuah keajaiban belaka. Sebab keajaiban hanya ada dalam dongeng. Tetapi saga adalah cerita yang sangat realis. Gunnarsson pasti tahu betul soal itu di balik makna ungkapannya.
Karenanya, mereka pun membuat revolusi sepakbola!
Revolusi itu dimulai dengan upaya mengatasi cuaca ekstrim yang pada saat musim dingin rata-rata mencapai 0 sampai -10 celcius, bahkan -25 sampai -30 celcius di pengujung tahun. Cuaca ekstrim inilah yang menjadi rintangan terbesar bagi perkembangan sepakbola Islandia. Sebab liga (semi-pro League) hanya bisa berjalan selama empat bulan (Mei-September).
Namun pada tahun 2002, toh KSI akhirnya menemukan solusi atas permasalahan ini. Mereka membangun “Football House”, lapangan indoor untuk anak-anak maupun dewasa. Football House ini dilengkapi dengan beragam sarana penunjang seperti ruang loker, ruang medis, hingga tribun penonton. Sampai saat ini, mereka sudah memiliki kurang-lebih belasan Football House yang tersebar di sejumlah daerah; yang membuat sepakbola dapat dimainkan sepanjang tahun, kendati secara formal liga masih tetap berjalan empat bulan.
KSI juga menerapkan sistem pembinaan usia dini yang terstruktur secara rapi. Dan untuk mencetak SDM, sejak tahun 2006 mereka pun mengirim para pelatih yang dinilai cukup potensial untuk mendapatkan lisensi kepelatihan UEFA A dan UEFA B. Yang mana para pelatih pemegang lisensi UEFA B ditugaskan untuk melatih anak-anak di bawah usia 10 tahun.
Hasilnya? Ranking timnas sepakbola Islandia meningkat dari peringkat 131 dunia (April-Juni 2012) menjadi peringkat 34 dunia (2 Juni 2016)! Dan banyak pemainnya kini tersebar di berbagai liga di Inggris, Jerman, Italia, erancis, Rusia, Austria dan negara-negara Eropa lainnya. Mereka pun nyaris lolos ke Piala Dunia 2014 apabila tidak dihentikan oleh Kroasia pada babak play-offZona Eropa dengan agregat 2-0 (leg 1: 0-0 | leg 2: 2-0).
“Kau mesti sadar, apabila kamu menjadi negara kecil seperti Islandia, kau bukanlah negara yang bisa memberikan ide baru bagi permainan (sepakbola) ini. Kau harus keluar dan mencari ide-ide baru, metode-metode baru dan jangan hanya bergantung pada cara yang lama,” demikian tukas Geir Thorsteinsson, salah satu anggota senior KSI.
Lantas, Lars Lagerback pun kemudian datang sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan Strakarnir Okkar dengan tangan dinginnya. Sebagai pelatih yang telah meloloskan negaranya Swedia ke lima turnamen akbar secara beruntun dan mengantar Nigeria ke pentas Piala Dunia 2010, Lagerback yang terkenal mengedepankan lini pertahanan, dengan lugas menyatakan bahwa ia sama sekali tak ragu ketika ditawari menangani Islandia.
“Saya mengambil pekerjaan ini karena saya menilai mereka punya banyak pemain menarik untuk bekerja sama, terutama para pemain U-21 yang mampu mencapai putaran final Kejuaraan Eropa 2011 dan kesempatan nyata untuk melaju sejauh ini,” katanya dua tahun silam, seperti yang dikutip The Guardian.
Lagerback memang tidak keliru. Walaupun perjalananannya bersama timnas Islandia mula-mula mengecewakan: hanya mengantongi satu kali kemenangan dari delapan laga. Tetapi berkat kepercayaan yang diberikan KSI, ia terus berbenah dan berbenah dan menjadikan skuad asuhannya makin baik dari hari ke hari. Bukankah hari ini kerja keras dan tekad baja itu akhirnya membuahkan hasil yang cukup gemilang? Meski perjuangan, tentu saja, masih harus terus berlanjut. Perjuangan yang keras kepala dan terkesan heroik, seperti kisah-kisah dalam saga.
Ya, saga itu kini bernama sepakbola! Saga yang dielu-elukan oleh seluruh rakyat Islandia di depan layar kaca. Saga yang sudah membuat Reykjavik dan kota-kota lainnya di negeri salju itu tenggelam dalam kelengangan sesaat tadi malam — dan seketika “pecah” setelah kesebelasan kebanggaan mereka merontokkan Inggris.
Rasanya tak terbayangkan pula kalau negeri “sekecil” Islandia-lah yang mendepak negara sebesar Inggris dari Euro 2016.