Kualitas sepak bola kawasan Asia Tenggara memang masih belum mampu bersaing dengan tim-tim Asia lainnya seperti Jepang atapun Korea. Sulitnya bersaing di level tertinggi menjadi bukti.
Sejarah mencatat, pada era 60-an, sepak bola ASEAN mampu bersaing. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan Myanmar menjadi menjadi runner-up Piala Asia 1968. Tetapi setelah itu, prestasi bal-balan Asia Tenggara menurun drastis.
Namun, secara perhalan perbedaan itu mulai dibenahi. Pembenahan iotu dimulai dari level klub yang merupakan tiang penting dalam persepakbolaan dunia. Klub akan melahirkan para pemain berkualitas untuk memperkuat tim nasional.
Sepak bola bukan hanya berbicara soal olahraga, namun si kulit bundar juga punya potensi yang bisa digali lebih dalam yakni dari segi bisnis, politik, ataupun kepentingan lainnya. Jika, semua itu bisa dikelola dengan baik, maka hasilnya akan berdampak positif.
Thailand menjadi pelopor perubahan kualitas sepak bola Asia Tenggara. Adalah Buriram United yang berubah menjadi klub kaya raya Negeri Gajah Putih itu. Politisi lokal, Newin Chidchob, berani mengambil langkah berani dengan menginvestasi dana besar klub berjuluk The Thunder Castles.
Mengambil alih kepemilikan PEA FC pada 2009, Newin memutuskan memindahkan klub tersebut dari Ayutthaya ke Buriram. Butuh tiga tahun untuk merubah nama PEA FC menjadi Buriram United. Ia rela merogoh kocek dalam-dalam untuk mendatangkan pemain asing maupun lokal yang mentereng.
Bukan hanya soal pemain, Newin juga memperhatikan infrastruktur dengan membangun stadion Thunder Castle Stadium yang kini bernama New i-Mobile Stadium setelah hak merek nama dibeli oleh perusahaan telekomunikasi. Selain itu, Buriram juga memiliki akademi yang menjanjikan.
Invetasi besar Newin membuah hasil. Kini, Buriram menjadi kekuatan di Thai Premier League dengan mengoleksi 15 gelar dalam enam tahun kepempinan Newin. Di kompetisi Asian, Buriram pernah mencapai perempat final Liga Champions Asia pada musim 2013.
Kesuksesan Buriram memberikan inspirasi ke negara tetangga. Di Myanmar, Yangon United, menjadi klub percontohan di kompetisi Myanmar National League. Klub yang dimiliki konglomerat Tay Za tersebut mendominasi kompetisi domestik sejak 2007. Selain itu, Yangon United juga memiliki stadion dan kompleks latihan sendiri dengan yang berstandar internasional.
Fenomena yang sama juga terjadi di Kamboja. Phnom Penh Crown menjadi raja di kompetisi C-League. Klub yang berdiri sejak 2001 itu juga memiliki stadion sendiri yakni RSN Stadium yang memiliki kapasitas 10 ribu penonton. Kini, jejak mereka diikuti klub rival seperti Boeung Ket Angkor dan Cambodian Tiger, klub yang dikelola investor asal Jepang.
Virus keberhasilan Buriram menjangkit Laos. Mereka memiliki dua klub yang berstatus profesional yaitu Lao Toyota FC dan Lanexang United. Vietnam tak mau ketinggalan, kendati sempat dilanda skandal pengaturan skor, gairah sepak bola Negeri Pamah Ho tersebut mulai bangkit. Becamex Binh Duong.
Yang fenomenal adalah lahirnya Johor Johor Darul Ta’zim. Klub asal Malaysia ini bisa disebut ‘Los Blancos’ untuk kompetisi domestik. Dalam tiga musim terakhir, tim yang berada di bawah kendali putra mahkota Johor, Tunku Ismail Sultan Ibrahim, mampu meraih gelar Malaysia Super League.
Bukan hanya di kompetisi lokal, prestasi terbaik Southern Tigers adalan menjuarai AFC Cup 2015 setelah mengalahkan wakil Tajikista, Istiklol, di laga final dengan skor 1-0.
Dari kisah tersebut bisa dapat ditarik kesimpulan, jika klub bisa dikelola secara profesional akan mendatangkan prestasi yang membuat sponsor tertarik untuk menginvestasikan dananya. Mengelola klub sepak bola memang butuh biaya besar.
Sayangnya, kesuksesan tim-tim tersebut tidak menular ke klub-klub Indonesia yang saat masih dikelola dengan tidak profesional dan banyaknya kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan lapangan hijau.