12 kekalahan, Kebobolan 38 gol, Apa yang Terjadi dengan Leicester City?
Menderita 12 kekalahan, kebobolan 38 gol, dan hanya dua poin dari jurang degradasi. Itulah sederet catatan buruk yang ditorehkan Leicester City di Liga Primer Inggris 2016–2017 hingga pekan ke-23. Sebuah catatan mengejutkan karena The Foxes berstatus sebagai juara bertahan.
Perjalanan Leicester kali ini memang berbanding terbalik dibanding musim lalu. Musim lalu, skuat besutan Claudio Ranieri tersebut mampu bertengger di puncak klasemen dengan koleksi 47 poin hasil dari 13 menenangan, delapan seri, dan dua kekalahan pada pekan ke-23. Mereka unggul tiga poin dari Manchester City dan Arsenal yang berada di urutan kedua serta ketiga.
Ranieri sebetulnya sudah menyadari skuat asuhannya akan mendapat perlawanan lebih sengit pada 2016–2017. Namun, Ranieri tak menyangka ganjalan yang bakal diterima bakal sangat besar.
“Musim ini akan berjalan sulit. Lawan akan mengerahkan kekuatan penuh ketika bersua juara bertahan. Selain itu, konsentrasi kami terbelah lantaran tampil di kompetisi Eropa,” kata Ranieri pada awal musim.
Agar skuat ‘tahan banting’ di semua kompetisi, Ranieri memutuskan untuk mendatangkan sejumlah pemain baru pada bursa transfer musim panas 2016. Tak tanggung-tanggung, The Tinkerman memaksa klub untuk menggelontorkan dana hingga 91,10 juta Euro (Rp1,3 triliun) untuk mendatangkan tujuh pemain anyar. Islam Slimani jadi pembelian termahal dengan banderol 30 juta Euro.
Sial bagi Ranieri. Gelontoran uang yang ia keluarkan tidak membuahkan hasil maksimal. Slimani hanya mencetak lima gol dari 13 penampilan di Liga Primer Inggris musim ini. Onyinye Ndidi yang diharapkan bisa mengisi pos peninggalan N’Golo Kante juga tak punya rapor bagus.
Justru, pemain yang dibeli dengan harga 17,6 juta Euro itu menjadi penghangat bangku cadangan The Foxes pada musim ini. Total, Ndidi baru tampil tiga kali dan berada di lapangan selama 270 menit.
Tanpa Kante, lini tengah Leicester tak lagi kokoh. Sebagai perbandingan, The Foxes mampu mencatat 267 intercept dan 274 tackle dari 12 laga pada 2015–2016.
Setelah Kante hengkang ke Chelsea, Leicester hanya menciptakan 174 intercept dan 200 tackle pada 12 laga awal musim ini. Artinya, keampuhan The Foxes dalam mematahkan serangan lawan menurun dratis pada musim ini.
Minim Opsi Taktik
Ranieri dijuluki The Tinkerman karena dikenal sebagai manajer dengan segudang pilihan taktik. Namun, julukan itu sepertinya tak berlaku pada musim ini. Buktinya ketika formasi 4-4-2 yang bisa berubah menjadi 4-3-3 The Foxes mandek, Ranieri kelimpungan mencari formasi alternatif.
Ranieri juga tiba-tiba gagap ketika melihat pemain andalannya, Riyad Mahrez terisolasi di sisi sayap. Alhasil, Mahrez yang musim lalu kerap memberikan assist dan gol untuk kemenangan The Foxes gagal tampil moncer pada musim ini.
Tim lawan memang sudah paham bahwa kunci permainan The Foxes ada di Mahrez. Menghentikan Mahrez sama dengan menghentikan Leicester. Mungkin begitu jargon yang digunakan klub lawan ketika bersua The Foxes.
“Lawan begitu pintar mengawal pertahanan ketika Mahrez mendapatkan bola. Setidaknya ada tiga pemain yang mengawalnya di sisi sayap,” analisis Ranieri.
Tanpa ada kontribusi dari Mahrez, Jamie Vardy jadi kelimpungan di pertahanan lawan. Maklum, Mahrez merupakan penyumbang assist terbanyak buat gol Vardy musim lalu.
Kini, Vardy harus berjuang seorang diri di kotak penalti. Sebuah tugas yang tak mudah. Sebab Vardy bukan tipe striker yang mampu meladeni dua bek sekaligus. Musim lalu, kinerjanya terasa sepele karena konsentrasi satu bek tengah lawan sering terpecah gara-gara ada penetrasi dari Mahrez di sisi sayap.
Leicester sudah mengalami banyak perubahan di berbagai aspek. Mereka bukan lagi tim yang mampu memenangi laga dengan mudah lewat serangan balik seperti musim lalu. Oleh karena itu, Ranieri sudah sepatutnya merevisi target.
Memaksakan Vardy dkk untuk kembali menjadi tim kuat rasanya terlalu berlebihan. Kini, tugas The Tinkerman membawa The Foxes meraih 40 poin sehingga kemungkinan besar bisa terhindar dari degdradasi pada akhir musim. Sebuah target tak muluk namun bisa menyelematkan kariernya di Liga Primer Inggris.