Search

Claudio Ranieri, Si Pecundang yang Kini Jadi Pemenang

tipsbetcash.com – Kesuksesan Leicester City menjadi juara Liga Primer Inggris musim 2015-216 tidak lepas dari sosok sang pelatih, Claudio Ranieri. Sukses ini sekaligus menjadi jawaban atas julukan Mr. Loser (pecundang) yang selama ini melekat di dirinya.

Ranieri dijuluki pecundang lantaran kerap gagal memberikan sukses pada klub yang dilatihnya. Padahal, beberapa klub yang dibesutnya tersebut dinilai memiliki kapasitas untuk keluar sebagai juara.

Chelsea, Juventus, AS Roma, dan Inter Milan adalah klub-klub yang gagal dibawanya meraih sukses. Bersama tim-tim tersebut, Ranieri bisa dikatakan hanya memberi harapan palsu lantaran hanya nyaris jadi juara.

Di Chelsea misalnya, saat klub asal London tersebut baru diakuisisi oleh taipan minyak Rusia, Roman Abramovich pada 2003. The Tinkerman yang diberi keleluasaan untuk merekrut pemain-pemain top macam Hernan Crespon, Juan Sebastian Veron, Claude Makelele, Damien Duff, dan Adrian Mutu, hanya mampu membawa Chelsea jadi runner-up Liga Primer Inggris.

Joe Cole dan Juan Veron, pemain yang direkrut Chelsea di era Claudio Ranieri

Joe Cole dan Juan Veron, pemain yang direkrut Chelsea di era Claudio Ranieri

Setelah empat musim tanpa gelar di Stamford Bridge, posisi Ranieri akhirnya digantikan Jose Mourinho pada 2004. Mourinho yang datang dari FC Porto terbukti langsung mampu membawa Chelsea jadi kampiun Liga Primer Inggris di musim pertamanya.

Komentar pedas pun terlontar dari The Special One saat ditanya mengapa Chelsea memecat Ranieri dan menunjuknya sebagai pengganti.

“Karena mereka (Chelsea) ingin juara dan itu tidak pernah terjadi dengan dia (Ranieri) di kursi pelatih. Bukan salah saya jika dia dicap sebagai pecundang di Chelsea,” kata Mou kala itu.

Bukti bahwa Ranieri adalah seorang pecundang kembali terjadi pada musim 2009–2010, saat ia membesut AS Roma. I Giallorossi dibawanya duduk di puncak klasemen saat kompetisi hanya menyisakan empat laga.

Tapi sayangnya, di akhir musim Roma harus puas duduk di posisi dua lantaran terpaut dua poin dari Inter Milan yang jadi juara.

Inter yang saat itu dilatih Mourinho kian melengkapi derita Ranieri di ajang Coppa Italia. Nerazzurri sukses menekuk Roma 1-0 pada laga final di Stadio Olimpico, yang sekaligus memastikan Ranieri gagal memberikan gelar apapun buat Giallorossi di musim itu.

Sejak saat itu, cap Mr. Runner-up pun kerap disematkan pada Ranieri yang kemudian seakan hilang dari peredaran lantaran tidak melatih klub top.

Di musim 2015–2016, Ranieri yang sempat “cuti” selama delapan bulan karena sakit, memutuskan kembali ke lapangan dengan menukangi Leicester City.

Tanggapan sinis pun sempat mengiringi kedatangannya ke King Power Stadium. Dengan predikat Ranieri sebagai pelatih gagal, mantan bintang Inggris yang kini beralih profesi sebagai komentator, Gary Lineker, mengaku tidak habis pikir dengan alasan manajemen Leicester menunjuk Ranieri sebagai pelatih. Tanggapan serupa juga dilontarkan sejumlah fan Leicester.

“Claudio Ranieri? Serius?” demikian cuitan Lineker di akun Twitternya pada 13 Juli 2015.

Namun, kritikan-kritikan tersebut perlahan tapi pasti berubah jadi puja-puji. Leicester yang hanya dihuni pemain medioker, sukses dibawanya mendobrak superioritas klub-klub mapan yang dihuni pemain top dunia.

Di tengah inkonsistensi performa dari tim-tim langganan juara, Leicester mampu menjaga konsistensinya di mana mereka tidak pernah terlempar dari delapan besar. Sejauh ini, mereka juga baru menelan tiga kekalahan.

Statistik Leicester City di musim 2015--2016

Statistik Leicester City di musim 2015–2016

Kemenangan 2-0 atas Stoke City di pekan ke-23 menjadi momentum kesuksesan Leicester musim ini. Pasalnya, sejak kemenangan tersebut Jamie Vardy dan kawan-kawan tidak pernah lagi tergusur dari puncak klasemen hingga akhirnya menyegel juara di pekan ke-36 menyusul hasil imbang yang diraih pesaing terkuatnya Tottenham Hotspur di kandang Chelsea.

Prestasi gemilang yang diraih Leicester ini jelas mengejutkan, mengingat budget klub yang dimiliki pengusaha Thailand, Vichai Srivaddhanaprabha ini tidak terlalu wah.

Menurut catatan Transfermarkt, harga jual seluruh pemain Leicester City adalah 127 juta Euro (Rp1,7 triliun). Jumlah ini masih kalah jauh jika dibandingkan dengan klub-klub besar seperti Manchester United, Arsenal, Chelsea, dan Manchester City yang market value-nya lebih dari 400 juta Euro (Rp6 triliun).

Daftar market value klub-klub Liga Primer Inggris

Daftar market value klub-klub Liga Primer Inggris

Dari sisi sejarah, Leicester juga bisa dikatakan ‘anak kemarin sore’ lantaran sebelumnya klub ini biasa berkutat di papan bawah. Gelar juara ini merupakan yang pertama sejak klub berdiri pada 1884 atau 132 tahun silam.

Sekarang, Leicester boleh berpesta dan berbangga bisa jadi kampiun Liga Primer Inggris. Namun, manajemen klub dan mungkin juga Ranieri -jika memutuskan bertahan- harus segera memutar otak untuk menjaga stabilitas klub.

Mereka harus bisa mempertahankan pemain-pemain yang dinilai punya kontribusi maksimal seperti Jamie Vardy dan Riyad Mahrez, atau setidaknya mencari pengganti yang sepadan jika mereka pergi.

Sebab, tantangan di depan pastinya bakal lebih sulit lagi, di mana The Foxes akan bersaing di empat kompetisi sekaligus, yakni Liga Primer Inggris, Piala FA, Piala Liga Inggris, dan Liga Champions Eropa.

Jika tidak pintar-pintar mengatur strategi di bursa transfer, bukan tidak mungkin Leicester akan terbangun dari mimpi indahnya dan kembali jadi tim semenjana. Begitu juga dengan Ranieri yang bisa saja kembali jadi pecundang.




7upcash 7upcash7upcash